Pesut mahakam (Latin:Orcaella brevirostris) adalah sejenis hewan mamalia yang sering disebut lumba-lumba air tawar yang hampir punah karena berdasarkan data tahun 2007, populasi hewan tinggal 50 ekor saja dan menempati urutan tertinggi satwa Indonesia yang terancam punah. Secara taksonomi, pesut mahakam adalah subspesies dari pesut (Irrawaddy dolphin).
Tidak seperti mamalia air lain yakni lumba-lumba dan ikan paus yang hidup di laut, pesut mahakam hidup di sungai-sungai daerah tropis. Populasi satwa langka yang dilindungi undang-undang ini hanya terdapat pada tiga lokasi di dunia yakni Sungai Mahakam, Sungai Mekong, dan Sungai Irawady. Namun, diberitakan bahwa pesut di Mekong dan Sungai Irrawaddy sudah punah.
Pesut ini ditemukan di banyak muara-muara sungai di Kalimantan, tetapi sekarang pesut menjadi satwa langka. Selain di Sungai Mahakam, pesut ditemukan pula ratusan kilometer dari lautan, yakni di wilayah Kecamatan Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Habitat hewan pemangsa ikan dan udang air tawar ini dapat dijumpai pula di perairan Danau Jempang (15.000 ha), Danau Semayang (13.000 ha), dan Danau Melintang (11.000 ha).
Pesut mempunyai kepala berbentuk bulat (seperti umbi) dengan kedua
matanya yang kecil (mungkin merupakan adaptasi terhadap air yang
berlumpur). Tubuh pesut berwarna abu-abu sampai wulung tua, lebih pucat
dibagian bawah - tidak ada pola khas. Sirip punggung kecil dan membundar
di belakang pertengahan punggung. Dahi tinggi dan membundar; tidak ada
paruh. Sirip dada lebar membundar.
Pesut bergerak dalam kawanan kecil. Walaupun pandangannya tidak
begitu tajam dan kenyataan bahwa pesut hidup dalam air yang mengandung
lumpur, namun pesut merupakan 'pakar' dalam mendeteksi dan menghindari
rintangan-rintangan. Barangkali mereka menggunakan ultrasonik untuk
melakukan lokasi gema seperti yang dilakukan oleh kerabatnya di laut.
Populasi hewan ini terus menyusut akibat habitatnya terganggu, terutama makin sibuknya lalu-lintas perairan Sungai Mahakam, serta tingginya tingkat erosi dan pendangkalan sungai akibat pengelolaan hutan di sekitarnya. Kelestarian Pesut Mahakam juga diperkirakan terancam akibat terbatasnya bahan makanan berupa udang dan ikan, karena harus bersaing dengan para nelayan di sepanjang Sungai Mahakam.
Populasi hewan ini terus menyusut akibat habitatnya terganggu, terutama makin sibuknya lalu-lintas perairan Sungai Mahakam, serta tingginya tingkat erosi dan pendangkalan sungai akibat pengelolaan hutan di sekitarnya. Kelestarian Pesut Mahakam juga diperkirakan terancam akibat terbatasnya bahan makanan berupa udang dan ikan, karena harus bersaing dengan para nelayan di sepanjang Sungai Mahakam.
Populasi Pesut
Mahakam (Orcealla Brevirostris) di pedalaman Kaltim, salah satu satwa
langka yang hanya hidup di tiga belahan dunia, yakni Sungai Mahakam,
Sungai Irawady dan Sungai Mekong kini populasinya terus menurun bahkan
diperkirakan kurang dari 50 ekor.
"Perkiraan itu, karena saat kami melakukan penelitian beberapa tahun silam, jumlahnya hanya sekitar 50 ekor, namun dengan tingginya tingkat pencemaran serta terus padatnya aktifitas lalu-lintas sungai menjadi faktor penyebab populasi satwa ini terus menurun," kata salah seorang staf BKSDA Samarinda, Hardi Purnama, di Samarinda, Kamis (20/4).
Ia menjelaskan bahwa sekitar akhir 1990-an ia bersama seorang peneliti dari Belanda, yakni Daniella Kreb melakukan penelitian terhadap mamalia yang menyerupai lumba-lumba namun hidup di air tawar di pedalaman Mahakam.
Ia menuturkan bahwa dengan menggunakan metode kemunculan pada kawasan yang dianggap sebagai habitat satwa ini selama tiga bulan dalam melakukan survei, yakni di Sungai Mahakam, khususnya sekitar Sungai Pela (sebuah lokasi di Sungai Mahakam) maka diperkirakan populasi satwa ini hanya sekitar 50 ekor.
"Namun itu beberapa tahun silam. Jadi apabila diasumsikan bahwa sampai kini belum ada tindakan nyata untuk menyelamatkan Sungai Mahakam dari pencemaran, masalah pendangkalan, serta kian sibuknya lalu lintas sungai, maka diperkirakan jumlah populasi satwa ini akan jauh menurun," katanya.
Tingkat pencemaran di Sungai Mahakam cukup tinggi karena banyak industri perkayuan, industri lem dan batu bara sepanjang sungai terpanjang di Kaltim itu.
Ia menambahkan bahwa makanan satwa langka ini adalah udang dan ikan sehingga dengan maraknya penangkapan ikan di Sungai Mahakam dengan menggunakan berbagai alat dan cara, maka bisa dipastikan satwa ini pun harus "bertarung" dengan manusia untuk bisa bertahan hidup.
"Beberapa kasus dilaporkan bahwa satwa ini ditemukan mati akibat jaring masyarakat yang dipasang di sungai, karena sama dengan manusia, maka satwa ini berburu pada lokasi yang banyak ikannya," kata Hardi.
Satwa dewasa bisa mencapai berat satu sampai 1,5 kuintal biasanya berenang dalam sebuah kelompok, yakni tiga, lima atau tujuh ekor serta menyukai air dengan kedalaman antara sembilan sampai 12 meter.
"Pelestarian satwa ini sangat penting karena selain populasinya terus terancam akibat perubahan kualitas habitatnya, juga dilaporkan bahwa mamalia sejenis di Sungai Mekong dan Irawady sudah punah," katanya.
Kehidupan Pesut Mahakam memang penuh misteri karena belum lama ini dilaporkan bahwa petugas BKSDA di Malinau menemukan satwa sejenis Pesut Mahakam yang mati terluka diduga akibat terkena baling-baling kapal di Sungai Malinau.
Kasus ditemukan bangkai Pesut Mahakam di kawasan itu merupakan penemuan sangat berarti bagi ilmu pengetahuan dan pelestarian satwa langka itu karena ternyata di Kaltim, satwa ini tidak hanya hidup di Sungai Mahakam namun juga Sungai Malinau.
Bahkan, beberapa peneliti satwa langka ini mengklaim menemukan populasi Pesut Mahakam di Pesisir Balikpapan, padahal lingkungan di kawasan itu merupakan ekosistem air payau/laut.
Para peneliti itu bersikeras bahwa yang mereka temukan adalah Pesut Mahakam karena moncong/hidungnya pendek, sedangkan lumba-lumba berbentuk botol atau panjang.
Sampai kini keberadaan Pesut Mahakam di kawasan pedalaman Kaltim itu masih misteri, meskipun ada teori yang menyatakan bahwa satwa ini merupakan mamalia laut yang terjebak di ekosistem air tawar akibat terjadi pertumbuhan delta yang menjadi daratan.
"Perkiraan itu, karena saat kami melakukan penelitian beberapa tahun silam, jumlahnya hanya sekitar 50 ekor, namun dengan tingginya tingkat pencemaran serta terus padatnya aktifitas lalu-lintas sungai menjadi faktor penyebab populasi satwa ini terus menurun," kata salah seorang staf BKSDA Samarinda, Hardi Purnama, di Samarinda, Kamis (20/4).
Ia menjelaskan bahwa sekitar akhir 1990-an ia bersama seorang peneliti dari Belanda, yakni Daniella Kreb melakukan penelitian terhadap mamalia yang menyerupai lumba-lumba namun hidup di air tawar di pedalaman Mahakam.
Ia menuturkan bahwa dengan menggunakan metode kemunculan pada kawasan yang dianggap sebagai habitat satwa ini selama tiga bulan dalam melakukan survei, yakni di Sungai Mahakam, khususnya sekitar Sungai Pela (sebuah lokasi di Sungai Mahakam) maka diperkirakan populasi satwa ini hanya sekitar 50 ekor.
"Namun itu beberapa tahun silam. Jadi apabila diasumsikan bahwa sampai kini belum ada tindakan nyata untuk menyelamatkan Sungai Mahakam dari pencemaran, masalah pendangkalan, serta kian sibuknya lalu lintas sungai, maka diperkirakan jumlah populasi satwa ini akan jauh menurun," katanya.
Tingkat pencemaran di Sungai Mahakam cukup tinggi karena banyak industri perkayuan, industri lem dan batu bara sepanjang sungai terpanjang di Kaltim itu.
Ia menambahkan bahwa makanan satwa langka ini adalah udang dan ikan sehingga dengan maraknya penangkapan ikan di Sungai Mahakam dengan menggunakan berbagai alat dan cara, maka bisa dipastikan satwa ini pun harus "bertarung" dengan manusia untuk bisa bertahan hidup.
"Beberapa kasus dilaporkan bahwa satwa ini ditemukan mati akibat jaring masyarakat yang dipasang di sungai, karena sama dengan manusia, maka satwa ini berburu pada lokasi yang banyak ikannya," kata Hardi.
Satwa dewasa bisa mencapai berat satu sampai 1,5 kuintal biasanya berenang dalam sebuah kelompok, yakni tiga, lima atau tujuh ekor serta menyukai air dengan kedalaman antara sembilan sampai 12 meter.
"Pelestarian satwa ini sangat penting karena selain populasinya terus terancam akibat perubahan kualitas habitatnya, juga dilaporkan bahwa mamalia sejenis di Sungai Mekong dan Irawady sudah punah," katanya.
Kehidupan Pesut Mahakam memang penuh misteri karena belum lama ini dilaporkan bahwa petugas BKSDA di Malinau menemukan satwa sejenis Pesut Mahakam yang mati terluka diduga akibat terkena baling-baling kapal di Sungai Malinau.
Kasus ditemukan bangkai Pesut Mahakam di kawasan itu merupakan penemuan sangat berarti bagi ilmu pengetahuan dan pelestarian satwa langka itu karena ternyata di Kaltim, satwa ini tidak hanya hidup di Sungai Mahakam namun juga Sungai Malinau.
Bahkan, beberapa peneliti satwa langka ini mengklaim menemukan populasi Pesut Mahakam di Pesisir Balikpapan, padahal lingkungan di kawasan itu merupakan ekosistem air payau/laut.
Para peneliti itu bersikeras bahwa yang mereka temukan adalah Pesut Mahakam karena moncong/hidungnya pendek, sedangkan lumba-lumba berbentuk botol atau panjang.
Sampai kini keberadaan Pesut Mahakam di kawasan pedalaman Kaltim itu masih misteri, meskipun ada teori yang menyatakan bahwa satwa ini merupakan mamalia laut yang terjebak di ekosistem air tawar akibat terjadi pertumbuhan delta yang menjadi daratan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar